Indonesia’s national motto is Bhinneka Tunggal Ika that unites every single person in diversity. As a big and plural nation, Indonesia has a big problem in SARA or etchnicity, religion, race, and intergroup relationship because each person has their own purpose, dream, and future goals that maybe can’t totally unite under Bhinneka Tunggal Ika. But nowadays, not only SARA that ruin the integrity because Korean wave or hallyu has the same thing.
This article will communicate in Bahasa Indonesia.
Diversitas suku, agama, ras dan antar golongan adalah sebuah anugerah ilahi yang tak dapat dielakkan bagi sebuah bangsa. Contohnya bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman masyarakat, baik dilihat dari suku, agama, ras, budaya, dan golongan. Namun hal itu juga dapat menjadi sebuah ancaman integritas bangsa. Adanya simbol-simbol negara tak lain adalah sebagai sebuah simbol persatuan dari keberagaman tersebut. Simbol Garuda Pancasila yang membawa pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu contohnya. Selain itu disahkannya bahasa Indonesia sebagai lingua franca atau bahasa persatuan juga demikian.
Proses globalisasi media komunikasi dan informasi, ditambah mobilisasi masyarakat takkan terelakkan di masa sekarang. Bertemunya masyarakat dari asal yang berbeda akan memunculkan sebuah kontak kebudayaan. Bila ditelisik lebih jauh, bersinggungnya budaya Hindu-Buddha yang telah lama eksis di Nusantara dengan kebudayaan Arab, Persia, dan Eropa menyebabkan pertemuan kebudayaan. Kemudian pertemuan kebudayaan ini dapat berbuah menjadi akulturasi, asimilasi, difusi, penetrasi, dan invasi kebudayaan tergantung kecondongan masyarakat dan kuat-lemahnya pengaruh kebudayaan.
Bila kita sadar dan memperhatikan lebih jauh situasi di Indonesia saat ini, bukan hanya SARA yang mengancam integritas bangsa. Namun hal-hal berbau kebudayaan Korea juga termasuk hal-hal yang sensitif dan fatal akibatnya bila disinggung. Gelombang budaya Korea populer sekali belakangan ini, bahkan dapat dibilang bahwa budaya Korea di Indonesia tak ubahnya menjadi gelombang budaya populer di kalangan remaja, dewasa, bahkan ibu-ibu.
Hallyu, Korean Wave, atau fenomena gelombang Korea yang menghantam Indonesia, bahkan dunia adalah bukti kuatnya budaya Korea. Produk dari Hallyu yang dapat ditemui, mungkin bisa dibilang paling populer dan memberikan pengaruh besar, adalah K-Pop atau musik pop Korea. Kiprah BTS (Bangtan Boys) di kancah internasional seperti pada tahun 2018 diundang di Sidang Umum PBB di New York dengan kampanye “Love Yourself”, pada 2020 juga memberikan pidato di Sidang Umum PBB bertajuk “Let’s Live Again In A New World”, dan menjadi satu-satunya grup musik Asia yang debut di Billboard Hot 100, juga membawa pengaruh besar dalam fenomena hallyu.
Saya bukanlah orang yang pantas mendapat gelar K-Popers karena masih bingung membedakan wajah-wajah personil BTS apalagi NCT (Neo Culture Technology), namun kehadiran BTS cukup mengena di hidup saya. Wisuda sekolah saya dibatalkan akibat pandemi Covid-19, impian masuk UGM pupus, dan menjalani hari dengan tidak haha hihi seperti biasanya. Kemudian pada Juni 2020, BTS hadir dengan “ Commencement Speech” di event “Dear Class of 2020" yang diunggah di akun youtube BANGTANTV. And then I realize that I am the leader of my own life, I have to focus on my dream to being a lecturer in international university or being tempe’s businessman in Dubai, Korea, Finland, or Britain.
Masih secara subjektif, lagu dari girlband Bolbbagan4 berjudul “Some” juga sempat terngiang-ngiang di otak saya di pertengahan Juli 2020. Saya ingat betul lirik “Solcika genaan mal hago sipoyo, sarajo anisara jijima, ni mamul boyojo ani boyojo jijima, harujong ilmori sogeni misoman urigunyang han bon mannabuleyo”. Mungkin saya salah menuliskan transliterasi bahasa Korea-Indonesia, namun seperti itu lirik yang saya dengar. Dan di penghujung tahun 2020, otak saya dipenuhi lagi lirik lagu “Dynamite” dari BTS. Seakan-akan dunia saya dipenuhi dengan lirik “Cause I-I-I’m in the stars tonight, so watch me bring the fire and set the night alight. Shining through the city with a little funk and soul, so I’m a light it up like dynamite”.
Sebelum tahun 2020, tepatnya mulai tahun 2018, lagu-lagu pop Korea sudah mulai masif dibicarakan, setidaknya di circle pertemanan saya. Kala itu lagu “Ddu-Du Ddu-du” dari Blackpink hits, bahkan tetangga saya sampai memutar lagu ini di acara pernikahannya meskipun dikolaborasikan dengan Indonesian local wisdom, dangdut koplo. Bahkan remix dari K-Pop x dangdut koplo ini kian marak, booming, bahkan meledak di kalangan anak muda non-k-popers. Kemudian disusul lagu “Kill This Love” yang juga ramai dibicarakan, dan puncaknya pada lagu “Solo” yang dinyanyikan oleh Mbak Jennie. Saya mulai menyadari gelombang hallyu ini eksis di sekolah, khususnya ketika jam istirahat berlangsung. Menurut saya buktinya cukup kuat, dimana kami sekelas belajar joget lagu “Solo” berjamaah waktu jam pelajaran kosong, dibawah pantauan CCTV, dengan pengeras suara yang menggelegarnya masyaallah sekali.
Produk yang tak kalah berpengaruh pada perkembangan hallyu adalah drama Korea atau biasa disingkat K-Drama. Berdasarkan data yang diunggah oleh Narasi Newsroom di akun instagram @narasinewsroom pada 1 Januari 2021 dengan judul “Semua akan suka drakor pada 2020”, disebutkan bahwa berdasarkan survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sebanyak 91,1% responden mengisi waktu luang dengan menonton drama Korea selama pandemi.
Jujur saja, drama Korea adalah sarana hiburan dan relaksasi yang efektif untuk meredakan stress, khususnya untuk manusia spesies anak rumahan atau istilahnya adalah homebody. Momen uwu yang jarang, bahkan tidak pernah kita lihat dan dapatkan tersaji secara gamblang di drama Korea. Selain itu drama Korea biasa mengangkat isu-isu sosial yang dapat menjadi bahan kajian di forum gibah. Bila kita amati lebih spesifik, alur paling mainstream adalah romansa dan perjuangan cinta antara si kaya dan si miskin, menggambarkan kesenjangan strata sosial yang ada di Korea. Sebut saja film “Parasite” yang dengan jelasnya menggambarkan apartemen bawah tanah (banjinha) di Korea yang sempit, kumuh, dan kesan miskin yang melekat.
Selain romansa di bawah kesenjangan sosial, bumbu-bumbu perundungan dengan melakukan body shaming juga tak dapat dibilang sedikit. Contohnya pada drama on going “True Beauty”. Pada drama ini, Ju-Kyung, peran wanita utama, mendapat perundungan di sekolahnya karena wajahnya yang tidak memenuhi standar kecantikan Korea. Perundungan itu berupa menjadi pesuruh atau babu, dipermalukan di depan umum, disiram dari atas toilet, dan kekerasan lain yang tidak dapat saya tuliskan di sini. Jari jemari saya tak tega untuk mengetik hal-hal kejam seperti itu.
Selain itu, drama “True Beauty” juga mengajarkan untuk mencari lingkaran pertemanan yang sehat dan adanya support system yang terbentuk secara online. Online support system ini terdapat di episode awal, ketika Ju-Kyung meminta saran kepada teman online-nya mengenai riasannya yang terlalu menor dan badutable. Namun di sisi lain, masa lalu ketika ia menjadi korban perundungan tak dapat dengan mudah ia lupakan. Terbukti di scene dimana Ju-Kyung ketakutan ketika melihat teman-teman SMAnya di toko make-up dan bus. Jelas sekali bahwa mental Ju-Kyung belum siap untuk mengulangi dan merespon aktor-aktor perundung di kehidupan lamanya.
Kemudian pada drama Korea “It’s Okay to Not Be Okay” juga mengangkat tema mental health atau kesehatan mental. Tema ini juga booming dan banyak dibicarakan di seminar daring atau webinar, khususnya mulai September 2020 sampai akhir November 2020. Alur maju-mundur cantik dan scene cuplikan masa lalu di drama ini juga membuat penontonnya penasaran. Yang perlu digaris bawahi yakni pengalaman masa lalu juga berdampak pada pembentukan karakter.
Kesenjangan sosial, perundungan, body shaming, gender equality, dan mental health adalah beberapa isu/ fenomena yang marak untuk dikaji. Tentunya peran K-Drama di sini adalah mengangkat suatu isu ke permukaan agar dapat dicari solusi yang tepat dan efektif.
Setelah K-Pop dan K-Drama, disinilah peran
Invasi K-Pop dan K-Drama di sektor hiburan sudah tak ragu lagi diakui eksistensinya. Hidangan korea yang tersaji di setiap K-Drama secara tak langsung mempengaruhi alam bawah sadar untuk membeli, minimal mencicipi dan mencium baunya di kehidupan nyata. Kita lihat saja persebaran restoran yang menyajikan hidangan Korea di Malang Raya berikut. Restoran Korea menjamur di daerah Malang Kota. Data ini juga belum termasuk makanan Korea instan yang biasa kita temui di supermarket, bahkan warung terdekat.
Mungkin orang tua terdahulu dan beberapa orang tidak menyukai adanya hal-hal berbau kekoreaan ini. Namun berdasarkan pengamatan singkat melalui fitur cerita di whatsapp, instagram, twitter, dan beberapa konten di tiktok, saya dapat menyimpulkan bahwa hallyu tidak sepenuhnya buruk. Ada banyak nyawa remaja bahkan orang dewasa yang terselamatkan karena semangat virtual dari idol mereka. Ada jutaan jiwa manusia yang tersemangatkan karena idol-idol mereka. Dan ada beribu-ribu manusia dalam derita yang terus survive hingga saat ini karena idol-idol mereka.
Melihat kenyataan ini, adalah bukti bahwa negara tak dapat memberikan support system yang baik terhadap rakyatnya, khususnya para remaja yang masih bimbang dan mencari jati diri. Karena globalisasi juga para remaja ini kemudian mendapat support system dari sesama fandom/ penggemar dan mulai berusaha untuk menguatkan diri.
Sebagai manusia berbudi luhur, bermoral, beradab, dan ada dalam sebuah peradaban manusia modern, sungguh tak pantas bagi mulut-mulut dan jari jemari manusia untuk merendahkan manusia lain yang survive dari kejamnya dunia seorang diri. Ibarat dunia gim, mereka melakukan solo rank dengan jaringan yang buruk dan perangkat yang biasa saja.
Banyak sekali tokoh agama — yang tidak saya sebutkan karena takut hilang dari peradaban — melakukan pengharaman terhadap K-Pop tanpa mengetahui sisi lain darinya. Realitas ini juga menggambarkan bahwa peran organisasi agama tidak bisa menunjukkan suatu figur tauladan yang masih muda, satu frekuensi, santai, memberikan semangat, toleran, dan memahami apa yang diinginkan oleh penggemarnya. Selama ini, sedikit sekali figur tauladan muda seperti itu, atau figur ini tertutup oleh organisasi masyarakat yang mengatasnamakan umat Islam namun berisi hate speech, intoleransi, dan semi-radikal, bahkan banyak yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam yang mengamalkan syariat, padahal semboyan Bhinneka Tunggal Ika ada untuk menyatukan kemajemukan yang ada.
Hallyu tak ubahnya menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi penyemangat bagi sebagian remaja untuk dapat survive dan mendapat support system karena kurangnya afeksi dari dunia nyata. Namun di sisi lain juga dapat menjadi sesuatu yang rawan dan sensitif, khususnya bagi persatuan dan kesatuan.
hit me up on instagram uqqiii
reach me on twitter syauqi_albanna
picture 1 from pinterest, here!
picture 2 from google with keywords “restoran korea”